Nabi Ya’akub adalah putera dari Nabi
Ishaq bin Ibrahim sedang ibunya adalah anak saudara dari Nabi Ibrahim, bernama
Rifqah binti A’zar. Ia adalah saudara kembar dari putera Ishaq yang kedua
bernama Ishu.
Antara kedua saudara kembar ini tidak terdapat suasana rukun dan damai serta
tidak ada menaruh kasih-sayang satu terhadap yang lain bahkan Ishu mendendam
dengki dan iri hati terhadap Ya’akub saudara kembarnya yang memang dimanjakan
dan lebih disayangi serta dicintai oleh ibunya. Hubungan mereka yang renggang
dan tidak akrab itu makin buruk dan tegang setelah diketahui oleh Ishu bahwa Ya’akublah
yang diajukan oleh ibunya ketika ayahnya minta kedatangan anak-anaknya untuk
diberkahi dan didoakan, sedangkan dia tidak diberitahu dan tidak
mendapat kesempatan seperti mana Ya’akub memperoleh berkah dan doa ayahnya, Nabi
Ishaq.
Melihat sikap saudaranya yang bersikap dingin dan mendengar kata-kata sindirannya yang timbul dari rasa
dengki dan iri hati, bahkan baginda selalu diancam, maka datanglah Ya’akub kepada
ayahnya mengadukan sikap permusuhan itu. Baginda mengeluh : ” Wahai ayahku!
Tolonglah berikan fikiran kepadaku, bagaimana harus aku menghadapi saudaraku
Ishu yang mendendam dengki kepadaku dan selalu menyindirku dengan kata-kata
yang menyakitkan hatiku, sehinggakan menjadi hubungan persaudaraan kami berdua
renggang dan tegang tidak ada saling cinta mencintai saling sayang-menyayangi.
Dia marah karena ayah memberkahi dan mendoakan aku agar aku memperolehi
keturunan soleh, rezeki yang mudah dan kehidupan yang makmur serta kemewahan .
Dia menyombongkan diri dengan kedua orang isterinya dari suku Kan’aan dan
mengancam bahwa anak-anaknya dari kedua isteri itu akan menjadi saingan berat
bagi anak-anakku kelak didalam pencarian dan penghidupan dan macam-macam
ancaman lain yang mencemas dan menyesakkan hatiku. Tolonglah ayah berikan aku
fikiran bagaimana aku dapat mengatasi masalah ini serta mengatasinya dengan
cara kekeluargaan."
Berkata si ayah, Nabi Ishaq yang memang
sudah merasa kesal hati melihat hubungan kedua puteranya yang makin hari makin
meruncing. ” Wahai anakku, kerana usiaku yang sudah lanjut aku tidak dapat
menegah kamu berdua, ubanku sudah menutupi seluruh kepalaku, badanku sudah
membongkok, raut mukaku sudah kusut berkerut dan aku sudak berada di ambang
pintu perpisahan dari kamu dan meninggalkan dunia yang fana ini. Aku khuatir
bila aku sudah menutup usia, gangguan saudaramu Ishu kepadamu akan makin
meningkat dan ia secara terbuka akan memusuhimu, berusaha mencari kecelakaan mu
dan kebinasaanmu. Ia dalam usahanya memusuhimu akan mendapat sokongan dan
pertolongan dan saudara-saudara iparnya yang berpengaruh dan berwibawa di
negeri ini. Maka jalan yang terbaik bagimu, menurut fikiranku, engkau harus
pergi meninggalkan negeri ini dan berhijrah engkau ke Fadan A’raam di daerah
Irak, di mana bermukin bapa saudaramu saudara ibumu Laban bin Batu;il. Engkau
dapat mengharap dikahwinkan kepada salah seorang puterinya dan dengan demikian
menjadi kuatlah kedudukan sosialmu, disegani dan dihormati orang kerana karena
kedudukan mertuamu yang menonjol di mata masyarkat. Pergilah engkau ke sana
dengan iringan doa daripadaku semoga Allah memberkahi perjalananmu, memberi rezeki
murah dan mudah serta kehidupan yang tenang dan tenteram."
Nasihat dan anjuran si ayah mendapat
tempat dalam hati si anak. Ya’akub melihat dalam anjuran ayahnya jalan keluar
yang dikehendaki dari krisis hubungan persaudaraan antaranya dan Ishu, apatah lagi
dengan mengikuti saranan itu ia akan dapat bertemu dengan bapa saudaranya dan
anggota-anggota keluarganya dari pihak ibunya .Ia segera berkemas-kemas
membungkus barang-barang yang diperlukan dalam perjalanan dan dengan hati yang
terharu serta air mata yang tergenang di matanya ia meminta kepada ayahnya dan
ibunya ketika akan meninggalkan rumah.
Nabi Ya’akub Tiba di Iraq
Dengan melalui jalan pasir dan Sahara
yang luas dengan panas mataharinya yang terik dan angi samumnya {panas} yang
membakar kulit, Ya’akub meneruskan perjalanan seorang diri, menuju ke Fadan
A’ram dimana bapa saudaranya Laban tinggal. Dalam perjalanan yang jauh itu , baginda sesekali berhenti beristirehat bila merasa letih dan lesu. Dalam salah satu
tempat perhentiannya ia berhenti kerana sudah sangat letih, baginda tertidur di bawah
teduhan sebuah batu karang yang besar. Dalam tidurnya yang nyenyak, baginda mendapat
mimpi bahawa baginda dikurniakan rezeki luas, penghidupan yang aman damai, keluarga
dan anak cucu yang soleh dan berbakti serta kerajaan yang besar dan makmur.
Terbangunlah Ya’akub dari tidurnya, mengusapkan matanya menoleh ke kanan dan ke
kiri dan sedarlah ia bahawa apa yang dilihatnya hanyalah sebuah mimpi. Namun baginda percaya bahwa mimpinya itu akan menjadi kenyataan di kemudian hari sesuai dengan doa ayahnya yang masih tetap mendengung di telinganya. Dengan diperoleh
mimpi itu ,ia merasa segala letih yang ditimbulkan oleh perjalanannya menjadi
hilang seolah-olah ia memperolehi tanaga baru dan bertambahlah semangatnya
untuk secepat mungkin tiba di tempat yang di tuju dan menemui sanak-saudaranya
dari pihak ibunya.
Tiba pada akhirnya Ya’akub di depan
pintu gerbang kota Fadan A’ram setelah berhari-hari siang dan malam menempuh
perjalanan yang membosankan tiada - yang dilihat selain dari langit di atas dan
pasir di bawah. Alangkah lega hatinya ketika ia mulai melihat binatang-binatang
peliharaan berkeliaran di atas ladang-ladang rumput, burung-burung berterbangan
di udara yang cerah dan para penduduk kota berhilir mundir mencari nafkah dan
keperluan hidup masing-masing.
Bertemu dengan Puteri Laban
Sesampainya di salah satu persimpangan jalan, baginda berhenti sebentar bertanya salah
seorang penduduk di mana letaknya rumah saudara ibunya Laban barada. Laban
seorang kaya-raya yang merupakan pemilik dari suatu perusahaan perternakan yang
terbesar di kota itu. Tidak sukar bagi seseorang untuk menemukan alamatnya.
Penduduk yang ditanyanya itu segera menunjuk ke arah seorang gadis cantik yang
sedang menggembala kambing seraya berkata kepada Ya’akub; "Kebetulan sekali,
itulah dia puterinya Laban yang akan dapat membawamu ke rumah ayahnya. Dia bernama Rahil."
Dengan hati yang berdebar, pergilah Ya’akub
menghampiri si gadis yang ayu dan cantik itu, lalu dengan suara yang terputus-putus
seakan-akan ada sesuatu yang mengikat lidahnya, baginda mengenalkan diri, bahawa baginda adalah saudara sepupunya sendiri. Ibunya yang bernama Rifqah adalah saudara
kandung dari ayah si gadis itu. Selanjutnya baginda menerangkan kepada gadis itu
bahwa dia datang ke Fadam A’raam dari Kan’aan dengan tujuan hendak menemui Laban, ayahnya untuk menyampaikan pesanan Ishaq, ayah Ya’akub kepada gadis itu. Maka
dengan senang hati seta sikap yang ramah dan muka yang manis, disilakan Ya’akub
mengikutinya berjalan menuju rumah Laban bapa saudaranya.
berpeluk-pelukanlah dengan mesranya si
bapa saudara dengan anak saudara, menandakan kegembiraan masing-masing dengan
pertemuan yang tidak disangka-sangka itu dan mengalirlah pada pipi
masing-masing air mata yang dicucurkan oleh rasa terharu dan sukcita. Maka
disiapkanlah oleh Laban bin Batu’il tempat dan bilik khas untuk anak saudaranya Ya’akub
yang tidak berbeza dengan tempat-tempat anak kandungnya sendiri di mana ia
dapat tinggal sesuka hatinya seperti di rumahnya sendiri.
Setelah selang beberapa waktu tinggal di
rumah Laban, bapa saudaranya sebagai anggota keluarga disampaikan oleh Ya’akub
kdp bapa saudranya pesanan Ishaq ayahnya, agar mereka berdua dapat berbesan dengan mengahwinkannya
kepada salah seorang dari puteri-puterinya. Pesanan tersebut di terima oleh
Laban dan setuju akan mengahwinkan Laban dengan salah seorang puterinya, dengan
syarat sebagai maskahwin, ia harus memberikan tenaga kerjanya di dalam
perusahaan penternakan bakal mentuanya selama tujuh tahun. Ya’akub
menyetujuinya syarat-syarat yang dikemukakan oleh bapa saudaranya dan
bekerjalah ia sebagai seorang pengurus perusahaan penternakan terbesar di kota
Fadan A’raam itu.
Setelah mas tujuh tahun dilampaui oleh Ya’akub
sebagai pekerja dalam perusahaan penternakan Laban, baginda menagih janji bapa
saudaranya yang akan mengambilnya sebagai anak menantunya. Laban menawarkan
kepada Ya’akub agar menyunting puterinya yang bernama Laiya sebagai isteri,
namun anak saudaranya menghendaki Rahil adik dari Laiya, kerana dia lebih cantik
dan lebih ayu daripada Laiya yang ditawarkannya itu. Keinginan baginda diutarakannya
secara terus terang oleh Ya’akub kepada bapa saudaranya, yang juga dari pihak
bapa saudaranya. Dia memahami dan mengerti isi hati anak saudaranya itu. Akan tetapi
adat istiadat yang berlaku pada waktu itu tidak mengizinkan seorang adik
melangkahi kakaknya kahwin lebih dahulu. kerananya sebagi jalan tengah agak
tidak mengecewakan Ya’akub dan tidak pula melanggar peraturan yang berlaku,
Laban menyarankan agar anak saudaranya Ya’akub menerima Laiya sebagai isteri
pertama dan Rahil sebagai isteri kedua yang akan di sunting kelak setelah ia
menjalani mas kerja tujuh tahun di dalam perusahaan penternakannya.
Ya’akub yang sangat hormat kepada bapa
saudaranya dan merasa berhutang budi kepadanya yang telah menerimanya di rumah
sebagai keluarga, melayannya dengan baik dan tidak dibeza-bezakan seolah-olah
anak kandungnya sendiri, tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima cadangan
bapa saudaranya itu. Perkahwinan dilaksanakan dan kontrak untuk masa tujuh
tahun kedua ditanda-tangani.
Begitu masa tujuh tahun kedua berakhir dikahwinkanlah Ya’akub dengan Rahil gadis yang sangat dicintainya dan selalu dikenang sejak pertemuan pertamanya tatkala ia masuk kota Fadan A’raam. Dengan demikian Nabi Ya’akub beristerikan dua wanita bersaudara, kakak dan adik, hal mana menurut syariat dan peraturan yang berlaku pada waktu tidak terlarang akan tetapi oleh syariat Muhammad SAW keadaan sebegini telah diharamkan.
Begitu masa tujuh tahun kedua berakhir dikahwinkanlah Ya’akub dengan Rahil gadis yang sangat dicintainya dan selalu dikenang sejak pertemuan pertamanya tatkala ia masuk kota Fadan A’raam. Dengan demikian Nabi Ya’akub beristerikan dua wanita bersaudara, kakak dan adik, hal mana menurut syariat dan peraturan yang berlaku pada waktu tidak terlarang akan tetapi oleh syariat Muhammad SAW keadaan sebegini telah diharamkan.
Laban memberi hadiah kepada kedua
puterinya iaitu kedua isteri Ya’akub seorang hamba sahaya untuk menjadi
pembantu rumahtangga mereka. Dan dari kedua isterinya serta kedua hamba
sahayanya itu Ya’akub dikurniai dua belas anak, di antaraya Yusuf dan Binyamin
dari ibu Rahil sedang yang lain dari Laiya.
Kisah Nabi Ya’akub Di Dalam Al-Quran
Kisah Nabi Ya’akub tidak terdapat dalam
Al-Quran secara tersendiri, namun disebut-sebut nama Ya’akub dalam hubungannya
dengan Ibrahim, Yusuf dan lain-lain nabi. Bahkan kisah ini adalah bersumberkan
dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku sejarah.
___________________________
sumber:
0 comments:
Post a Comment